Bencana dan Syariat

Oleh Yusuf Al-Qardhawy

Jumat, 27 Desember 2013 08:48 WIB + Share

DATA resmi Kemenko Polhukam RI menyebutkan bahwa Gempa yang terjadi di Aceh pada 26 Desember 2004 berkekuatan 8,9 SR dengan jumlah korban yang tewas mencapai 200 ribu lebih serta 500 ribu orang kehilangan tempat tinggal. Bencana yang terjadi di Aceh akhir tahun 2004 silam merupakan bencana tsunami terbesar di dunia yang pernah ada dan belum pernah terjadi tsunami sedasyat itu sebelumnya di Aceh meskipun pada 1340 dan 1450 juga pernah terjadi tsunami di Aceh.

Dalam pandangan masyarakat Islam muncul beragam persepsi dan konklusi terkait bencana tsunami di Aceh, padahal pada 2002 Provinsi Aceh telah mendeklarasikan pemberlakuan syariat Islam berdasarkan amanah UU No.18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, meskipun lahirnya UU tersebut sangat politis, yakni sebagai satu upaya meredam keinginan masyarakat Aceh untuk memisahkan diri dari NKRI.

Pemerintah Pusat telah memberikan satu keinginan rakyat Aceh yang telah lama didambakan untuk dapat memberlakukan syariat Islam di Aceh secara kaffah. Namun hal tersebut tidak direspons dengan baik dan benar oleh pemerintah daerah kecuali hanya menginstruksikan kepada seluruh dinas dan badan serta instansi lainnya di Aceh untuk menulis huruf Arab-Latin di kantor-kantor pemerintah dan swasta. Kemudian setelah satu tahun syariat Islam dideklarasikan di Aceh, lahir beberapa qanun untuk mendukung pelaksanaan syariat.

Ada Qanun Aceh No.11 Tahun 2003 tentang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam, Qanun Aceh No.12 Tahun 2003 tentang Minuman Keras dan Sejenisnya (khamar), Qanun Aceh No.13 Tahun 2003 tentang Perjudian (maisir), dan Qanun Aceh No.14 Tahun 2003 tentang Khalwat (mesum). Meskipun regulasi pelaksanaan syariat Islam telah ada, namun sampai tsunami terjadi di Aceh tidak pernah sekalipun pelanggar syariat Islam dihukum. Eksekusi bagi pelanggar syariat baru terjadi pertama kali di Bireuen pada 24 Juni 2005 karena terlibat tindak pidana perjudian.

 Pelecehan hukum Allah
Jika mengacu pada hukum fikih, maka hukuman (‘uqubat) bagi pelanggar syariat (jarimah) belum sesuai diterapkan di Aceh sebagaimana yang telah diatur dalam semua qanun yang diproduk oleh legislatif dan eksekutif Aceh. Menurut penulis, hal tersebut sebagai pelecehan terhadap hukum Allah karena kita memberikan nomenklatur syariat Islam, sedangkan implementasi dan materinya tidak seperti harapan pemilik syariat, ditambah lagi penolakan oleh orang Islam sendiri terhadap hukum Allah tersebut, begitu juga terhadap implementasinya yang masih parsialistik. Wajar jika Allah murka kepada penduduk negeri seperti demikian karena telah melecehkan syariat-Nya dan tidak menjalankan hukum sesuai perintah-Nya. Orang-orang tersebut dengan jelas Allah nyatakan mereka termasuk golongan kafir, zalim, dan fasiq (QS. Al-Maidah: 44, 45, dan 47).

Kita meminta syariat Islam kepada Pemerintah Pusat, lalu pemerintah memberikannya, namun kita tidak sepenuh hati melaksanakannya. Menurut seorang anggota Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh dalam sebuah diskusi di Aceh Institute beberapa bulan lalu, “pelaksanaan syariat Islam di Aceh saat ini bukanlah syariat Islam, melainkan la’ibun walahwanun (main-main dan senda gurau)”.

Mengenai hukuman bagi pelaku jarimah minuman keras, misalnya, pada masa kepemimpinan Nabi Muhammad dan Abu Bakar Shiddiq menetapkan hukuman 40 kali jilid, sedangkan pada masa Khalifah Umar ibn Khattab dan seterusnya, peminum khamar dihukum 80 kali jilid.

Coba bandingkan dengan pelaksana Qanun Aceh No.12 Tahun 2003 yang hanya menetapkan hukuman 8-10 kali cambuk, meskipun qanun menetapkan sampai 40 kali. KUHP juga mengatur kasus minuman keras pada Pasal 492 ayat (1) dengan kurungan penjara selama-lamanya 6 hari dan membayar denda sebanyak Rp 375. Begitu juga dalam kasus perjudian, pelaku jarimah hanya diberikan cambuk 6-10 kali meskipun dalam qanun dengan jelas disebutkan dicambuk sampai 40 kali.

Mengenai hukuman bagi jarimah perjudian, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 304 justru menetapkan hukuman lebih berat daripada Qanun No.13 Tahun 2003, yakni pidana penjara 10 tahun dan denda Rp 25 juta. Qanun tentang maisir ini hanya menetapkan cambuk paling banyak 12 kali dan paling sedikit 6 kali kali cambuk, sedangkan praktik Islam mengenai had pada zaman Khullafaurrasyidin yang kemudian dijustifikasi oleh Abu Yusuf menetapkan batas maksimal 79 kali cambuk, sedangkan untuk ta’zir menetapkan 75 kali.

Hal serupa juga berlaku terhadap Qanun Aceh No.14 Tahun 2003 yang hanya menetapkan hukuman bagi pelaku zina dan khalwat maksimal 9 kali dan minimal 6 kali dan membayar denda mulai Rp 2,5 juta hingga maksimal Rp 15 juta. Sedangkan di India yang mayoritas penduduknya menganut agama Hindu apabila kedapatan berzina dihukum 5 tahun penjara, begitu juga di Pennsylvania, Amerika Serikat, dihukum penjara 2 tahun apabila terbukti berzina.

Padahal apabila ditelusuri evidensi dalam Alquran dan hadis serta praktik Khalifah Rasyidah hukuman bagi pelaku zina dan khalwat tidaklah sangat ringan seperti dalam Qanun No.14 tersebut. Hukumannya bisa mencapai 100 kali cambuk bagi yang belum pernah menikah (ghairu muhsan) serta diasingkan selama satu tahun. Sedangkan bagi yang telah pernah menikah (muhsan) di-rajam hingga 100 kali, bahkan hingga meninggal dunia.

 Belum sungguh-sungguh
Berkaca dari premis di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan syariat Islam di Aceh sejak dideklarasikan pada 2002 silam, belum menyentuh Islam substansial dan masih jauh dengan harapan pemilik syariat Islam (Allah) itu sendiri. Syariat Islam yang penulis pahami bukan hanya hukum cambuk, yang bersifat punishment, namun segala dimensi kehidupan mewarnai dengan syariat Islam. Pemerintah Aceh yang memiliki otoritas utama menerapkan syariat Islam justru sepertinya belum sungguh-sungguh melaksanakannya.

Ulama merupakan pewaris Nabi zaman sekarang yang menginginkan syariat Islam bisa diterapkan secara kaffah justru dijadikan “instrumen dan infrastruktur” oleh penguasa negeri ini. Kalau suara ulama tidak didengar bahkan dianggap konservatif, itu sebabnya bencana bertubi-tubi menimpa bumi Aceh yang kita cintai ini. Lihat saja bencana tsunami pada akhir 2004 silam, dan bencana-bencana lain. Kemudian hampir tiap bulan juga bumi ini digoyang oleh gempa dan juga banjir di mana-mana, bahkan ketidakharmonisan dan pertumpahan darah di antara masyarakat Aceh.

Allah telah membinasakan bangsa-bangsa terdahulu akibat mereka ingkar dengan hukum Allah, lihat saja bangsa Tsamud, kaum Nabi Luth, Fir’un, kaum Nabi Nuh, dan lain-lain. Bencana terjadi akibat kita meremehkan dan mengabaikan hukum Allah: “Dan kembalilah kepada Tuhanmu, dan berserahdirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong lagi.” (QS. Az-Zumar: 54). “Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu oleh Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya.” (QS. Az-Zumar: 55).

Dalam ayat lain Allah berfirman: “Dan tidaklah Tuhanmu membinasakan kota-kota sebelum Dia mengutus pembawa risalah yang akan membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka, dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota, kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezhaliman.” (QS. Al-Qashash: 59). Na’uzubillah, mudah-mudahan Allah Swt menjauhkan kita dari segala bencana dan marabahaya.

* Yusuf Al-Qardhawy, S.HI, MH, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Sarjana Alumni Dayah (PB-ISAD Aceh). Email: thebeeislam@ymail.com

Tinggalkan komentar